Building Culture Cognition

Membangun Kesadaran Budaya dan Menjembatani Budaya[1]

Alam semesta adalah tempat yang luas. Tempat yang dihuni beragam makhluk, baik yang mikro maupun makro. Dari sekian banyak makhluk di alam semesta, ada makhluk yang cukup menarik. Dikatakan menarik karena makhluk ini memiliki cara menghidupi alam semesta yang unik dan tak ada duanya, dibandingkan dengan makhluk lainnya. Makhluk ini dikenal dengan nama “manusia”. Manusia merupakan makhluk berbudaya, terutama ketika mereka tinggal bersama komunitasnya. Bersama konunitasnya, melalui kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan  terciptalah hal-hal yang menunjukkan kenunikan pada diri mereka, entah itu melalui dialeknya, model pakaian yan digunakan, tata cara kehidupan, bangunan tempat tinggal, tari-tarian, seni bangunan, senjata, sampai dengan barang-barang yang digunakan sehari-hari. Singkatnya, kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Hal tersebut di atas merupakan pengertian kebudayaan yang sering kita dengar ketika berada di bangku sekolah dan pengertian tersebut juga merupakan pengertian umum dalam masyarakat. Jika kita mencari kalimat yang dirasa benar-benar tepat untuk mendefinisikan kebudayaan bisa saja kita mendapati kesulitan, karena setiap manusia memiliki pola pikir yang berbeda. Pernahkah kita mendengar kesadaran budaya? Maka pada artikel ini akan sedikit dibahas mengenai kesadaran budaya ataupun mengenai pengetahuan budaya. Agar kita semakin mengetahuai bagaimana budaya itu sendiri.

Isi dan Wujud Kebudayaan

Banyak orang berdikusi tentang masalah kebudayaan dan pembangunan, masalah hubungan kebudayaan tradisional dan  modern, masalah perubahan nilai-nilai budaya, masalah mentalitas pembangunan, dan sebagainya. Dalam diskusi-diskusi dengan para cendekiawan, sering ditanyakan mengenai salah satu masalah tersebut di atas tadi. Misalnya saja: “Apakah sebenarnya yang tercakup dalam konsep kebudayaan itu?” banyak orang yang mengartikan konsep tersebut dalam arti yang terbatas, hanya meliputi pikiran, karya, dan hasil karya manusia guna memenuhi hasratnya akan keindahan. Sebaliknya, para ahli ilmu sosial mengartikan konsep kebudayaan dalam arti yang amat luas yaitu seluruh total dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Konsep tersebut sangat luas karena meliputi hampir seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Namun sebelumnya kita akan sedikit berbicara mengenai definisi kebudayaan.

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Untuk lebih jelas, dapat dirinci sebagai berikut:

1.    Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia. Karena itu meliputi:

a.    Kebudayaan material yang meliputi benda-benda ciptaan manusia, misalnya: alat-alat perlengkapan hidup.

b.    Kebudayaan non material, yaitu semua hal yang tidak dapat dilihat dan diraba, misalnya: religi, bahasa, ilmu pengetahuan.

2.    Bahwa kebudayaan tidak diwariskan secara generatif (biologis), melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar.

3.    Kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

4.    Kebudayaan itu adalah kebudayaan manusia. Hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena yang tidak perlu dibiasakan dengan cara belajar, misalnya tindakan atas dasar naluri, gerak reflek. Sehubungan dengan itu, kita perlu mengetahui perbedaan tingkah laku manusia dengan makhluk lainnya, khususnya hewan.

Ada 7 pokok perbedaan itu (Djoko Widagdho, 2008: 21-24), seperti:

1.    Sebagian besar kelakuan manusia dikuasai oleh akalnya, sedangkan hewan pada nalurinya.

2.    Sebagian besar kehidupan manusia dapat berlangsung dengan bantuan peralatan sebagai hasil kerja akalnya. Secara fisik manusia lebih lemah daripada hewan, karena itu dengan akalnya ia menciptakan peralatan untuk mempertahankan diri dan kehidupannya.

3.    Sebagian besar kelakuan manusia didapat dan dibiasakan melalui proses belajar, sedangkan hewan melalui proses nalurinya.

4.    Manusia mempunya bahasa, baik lisan (lambang vokal) maupun tertulis.

5.    Pengetahuan manusia bersifat kumulatif (terus bertambah) yang dikarenakan masyarakatnya yang berkembang dan telah mempunyai sistem pembagian kerja.

6.    Sistem pembagian kerja pada masyarakat manusia auh lebih kompleks daripada masyarakat hewan.

7.    Masyarakat manusia sangat beranela ragam, sedangkan pada hewan tetap saja.

Mengenai konsep budaya yang begitu luas, maka guna keperluan analisa konsep kebudayaan itu perlu dipecah lagi ke dalam unsur-unsurnya, yang kita kenal sebagai “unsur-unsur kebudayaan yang universal”, dan merupakan unsur-unsur yang dapat kita temukan pada semua kebudayaan di dunia.

Unsur-unsur universal menurut Koentjaraningrat (1993: 1-2) yang sekaligus menjadi isi dari semua kebudayaan di dunia seperti:

1.    Sistem religi dan upacara keagamaan

2.    Sistem dan organisasi kemasyarakatan

3.    Sistem pengetahuan

4.    Bahasa

5.    Kesenian

6.    Sistem mata pencaharian hidup

7.    Sistem teknologi dan peralatan

Koentjaraningrat (1993: 5) menyatakan bahwa kebudayaan mempunyai paling sedikit tiga wujud:

1.    Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

Sifatnya yang abstrak ini menjadikannya tak dapat diraba atau difoto. Kebudayaan ideel ini dapat disebut adat tata kelakuan. Secara lebih khusus lagi, adat terdiri dari beberapa lapisan, yaitu dari yang paling abstrak dan luas sampai yang paling konkret dan terbatas.

2.    Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.

Wujud yang kedua ini sering disebut sistem sosial , mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita, dapat diobservasi, dan didokumentasikan.

3.    Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud ketiga ini disebut kebudayaan fisik, dan memerlukan keterangan banyak. Karena merupakan total hasil fisik aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba dan didokumentasikan.

Ketiga wujud kebudayaan tadi dalam kehidupan bermasyarakat bagaikan dua sisi mata uang. Kebudayaan ideal dan adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia.

Membangun Kesadaran Budaya dan Menjembatani Budaya

Budaya Kesadaran adalah dasar dari komunikasi hal ini melibatkan kemampuan dari diri kita sendiri untuk menyadari nilai-nilai budaya dan persepsi. Mengapa kita melakukan hal-hal seperti itu?  Bagaimana kita melihat dunia?  Mengapa kita bereaksi dalam cara tertentu?

Budaya kesadaran menjadi pusat ketika kita harus berinteraksi dengan orang-orang yang berasal dari budaya berbeda. Orang melihat, menginterpretasikan, dan mengevaluasi hal-hal dengan cara yang berbeda. Apa yang dianggap sebagai perilaku yang tepat dalam satu budaya terkadang sering dipandang berbeda di sisi lainnya. Kesalahpahaman muncul ketika kita menggunakan arti kita untuk memahami realitas dari orang lain. Misalkan saja seperti ini, bagi orang Italia orang Amerika Serikat dianggap sebagai orang-orang yang selalu bekerja, berbicara tentang bisnis sambil makan siang ataupun saat minum kopi, dan ketika mereka berjalan di jalan mereka tidak menikmatinya seperti layaknya ketika berada di sebuah bar. Orang Italia malas dan orang Amerika hiperaktif? Tidak, itu berarti bahwa makna yang diberikan oleh tiap-tiap manusia terhadap suatu kegiatan tertentu berbeda. Seperti halnya makan siang atau makan malam akan menjadi berbeda sesuai kebudayaan itu berasal. Di Italia, dimana hubungan sangat dihargai, makan siang ataupun makan malam sederhana bahkan waktu jeda untuk minum kopi memiliki konotasi sosial. Orang-orang berkumpul dan berbicara ataupun melakukan hal-hal yang membuat mereka merasa rileks, untuk lebih saling mengenal. Sedangkan di Amerika Serikat yang dapat kita katakan memiliki slogan “time is money” menjadikan saat makan siang sebagai momentum untuk menutup sebuah kesepakatan, dimana orang-orangnya mendiskusikan hasil kesepakatan dan menandatangani kontrak sambil minum kopi.

Kesalahan penafsiran yang terjadi terutama ketika kurangnya kesadaran kita terhadap perilaku kita sendiri, peraturan yang telah kita anut, dan pemahaman kita yang berbeda akan sesuatu hal dengan orang lain. Karena pengetahuan yang masih belum cukup tentang kebudayaan orang lain, terkadang kita melakukan hal-hal yang kita anggap biasa saja (sopan) namun menurut orang lain tidak demikian. Misalnya saja ketika Anda berbicara langsung menatap wajah lawan bicara Anda akan dianggap tidak sopan (tidak menghormati) di Jepang.

Menyadari dinamika budaya adalah tugas yang sulit, karena budaya tidak sadar untuk kita, dalam hal ini kitalah yang seharusnya sadar akan budaya itu sendiri. Jangan sampai kita mengabaikan yang jelas-jelas ada di depan mata kita. Karena ketika kita dilahirkan, kita telah belajar untuk melihat dan melakukan hal-hal di alam bawah sadar. Pengalaman, nilai-nilai, dan latar belakang budaya membuat kita melihat dan melakukan hal-hal dengan cara tertentu. Terkadang kita harus melangkah keluar dari batas-batas budaya dalam rangka mewujudkan dampak bahwa budaya yang telah keluar dari kebiasaan kita.

Proyeksi kesamaan bisa menimbulkan salah tafsir juga.  Ketika kita berasumsi bahwa orang tersebut mirip dengan kita, kita dapat melakukan hal yang serupa, padahal belum tentu demikian. Jika kita dapat menempatkan persamaan namun sebenarnya persamaan itu tidak ada, hal ini akan lebih aman untuk mengasumsikan perbedaan sampai bukti akan persamaan itu terbukti.

Ada beberapa tingkat kesadaran budaya yang mencerminkan bagaimana orang tumbuh untuk memahami perbedaan budaya.

1.    Cara saya adalah satu-satunya cara.

Pada tingkat pertama, orang-orang mengetahui cara mereka melakukan sesuatu, dan cara mereka adalah satu-satunya cara.  Pada tahap ini, mereka mengabaikan dampak perbedaan budaya. (Paroki panggung)

2.    Saya tahu cara mereka, tapi cara saya lebih baik.

Di tingkat kedua, orang-orang mengetahui cara lain dalam melakukan sesuatu, tapi masih menganggap jalan mereka sebagai yang terbaik. Pada tahap ini, perbedaan budaya dianggap sebagai sumber masalah dan orang cenderung mengabaikan mereka atau mengurangi signifikansi mereka.  (Etnosentris panggung)

3. My Way and Their Way

Pada tingkat ini orang-orang mengetahui cara mereka sendiri melakukan hal-hal dan cara lain dalam melakukan sesuatu, dan mereka memilih cara terbaik sesuai dengan situasi. Pada tahap ini orang menyadari bahwa perbedaan budaya dapat menyebabkan baik itu masalah dan manfaat dan bersedia untuk menggunakan keragaman budaya guna menciptakan solusi dan alternatif baru.  (Sinergis panggung)

4. Our Way.

Terakhir tahap keempat membawa orang dari latar belakang budaya yang berbeda bersama-sama untuk menciptakan makna budaya bersama. Orang berdialog berulang-ulang dengan orang lain, menciptakan makna baru, aturan baru untuk memenuhi kebutuhan situasi tertentu.  (Participatory Ketiga tahap budaya).

Peningkatan kesadaran budaya berarti melihat kedua aspek positif dan negatif tentang perbedaan budaya. Keragaman budaya bisa menjadi sumber masalah, khususnya bila organisasi perlu orang untuk berpikir atau bertindak dengan cara yang sama. Keanekaragaman meningkatkan tingkat kompleksitas dan kebingungan dan membuat perjanjian sulit dijangkau. Di sisi lain, keragaman budaya menjadi keunggulan ketika organisasi memperluas solusi dan arti identitas, dan mulai mengambil pendekatan yang berbeda untuk memecahkan masalah. Keanekaragaman dalam hal ini menciptakan keahlian baru yang berharga.

Menjadi budaya sadar, orang menyadari bahwa kita tidak semua sama. Persamaan dan perbedaan keduanya penting. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan yang sama dan untuk menjalani hidup. Cara terbaik tergantung pada kontigensi budaya. Setiap situasi berbeda dan mungkin memerlukan solusi yang berbeda pula.

Kita umumnya menyadari bahwa langkah pertama dalam mengelola keragaman adalah mengenali dan belajar untuk tidak takut. Karena setiap orang adalah produk dari budaya mereka sendiri, kita perlu meningkatkan kesadaran diri dan kesadaran lintas budaya.  Tidak ada buku petunjuk untuk menangani keragaman budaya, tidak ada resep untuk diikuti.  Tapi sikap tertentu dapat membantu sebagai jembatan budaya, seperti:

1.    Mengakui bahwa Anda tidak tahu.

Mengetahui bahwa kita tidak tahu semuanya, bahwa situasi tersebut tidak masuk akal, bahwa asumsi kami mungkin salah adalah bagian dari proses menjadi budaya sadar. Assume differences, not similarities. Asumsikan perbedaan, bukan persamaan.

2.    Suspend penilaian.

Kumpulkan informasi sebanyak mungkin sehingga kita dapat menggambarkan situasi itu secara akurat sebelum mengevaluasi.

3.    Empati.

Dalam rangka untuk memahami orang lain, kita perlu mencoba berdiri di posisinnya. Melalui empati kita belajar tentang bagaimana orang lain ingin diperlakukan oleh kita.

4.    Sistematis dalam memeriksa dan asumsi Anda.

Mintalah rekan Anda untuk memberikan umpan balik secara terus-menerus guna memeriksa asumsi Anda dan untuk memastikan bahwa Anda memahami dengan jelas situasi yang ada.

5.    Menjadi nyaman dengan ambiguitas.

Kehidupan adalah semakin kita cenderung mencari kontrol akan lebih rumit dan tidak menentu. Asumsikan bahwa orang lain adalah sebagai akal seperti kita dan bahwa cara mereka akan menambah apa yang kita ketahui.  “Kalau kita selalu melakukan, apa yang telah kita selalu dilakukan, kita akan selalu mendapatkan, apa yang kita selalu punya.”

Kesimpulan

Apa yang telah diuraikan di atas merupakan sedikit penjelasan bagaimana kesadaran budaya itu sendiri. Kesadaran budaya adalah bagaimana kita harus berinteraksi dengan orang-orang memiliki kebudayaan yang berbeda. Melihat, menginterpretasikan, dan mengevaluasi hal-hal dengan cara yang berbeda. Kesalahpahaman muncul ketika kita menggunakan arti kita untuk memahami realitas dari orang lain. Kesalahan penafsiran yang terjadi terutama ketika kurangnya kesadaran kita terhadap perilaku kita sendiri, peraturan yang telah kita anut, dan pemahaman kita yang berbeda akan sesuatu hal dengan orang lain. Menyadari dinamika budaya adalah tugas yang sulit, karena budaya tidak sadar untuk kita, dalam hal ini kitalah yang seharusnya sadar akan budaya itu sendiri. Baik itu budaya dalam arti umum ataupun secara sosiologis. Beberapa tingkat kesadaran budaya yang dapat mencerminkan bagaimana orang tumbuh untuk memahami perbedaan budaya, seperti: Cara saya adalah satu-satunya cara, saya tahu cara mereka, tapi cara saya lebih baik, may way dan your way dan  our way. sikap tertentu dapat membantu sebagai jembatan budaya, seperti: Mengakui bahwa Anda tidak tahu, suspend penialian, empati, sistematis dalam memeriksa dan asumsi Anda, dan menjadi nyaman dengan ambiguitas.

Berusalah untuk melihat keragaman budaya yang ada di sekitar kita dengan cara yang bijaksana. Janganlah membuat suatu penilaian hanya dari satu sisi saja dan tidak mengabaikan apa yang jelas-jelas terlihat, karena hal tersebut akan menguji kepekaan kita.

Referensi

Koentjaraningrat. 1993. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Widagdho, Djoko, dkk. 2008. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Khayrurijal. 2008. Diakses dari http://k3blog.multiply.com/journal/item/29 (Mencari Definisi “Kebudayaan”) pada tanggal 26 Februari 2011.

Quappe Stephanie dan Cantatore Giovanna. Diakses dari http://www.culturosity.com/articles/ whatisculturalawareness.htm (Apakah Budaya Kesadaran? Bagaimana Cara Membangunnya?) pada tanggal 26 Februari 2011.


[1] Disampaikan pada diskusi kuliah sosiologi budaya. Disusun oleh Fitri Nurkumalasari, dkk

Download artikel ini di sini

Leave a comment