Reproduksi Budaya

Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian, tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa adanya masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya.

Kebudayaan dalam arti secara umum dapat diartikan sebagai kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan yang terdapat pada suatu masyarakat akan cenderung berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masyarakatnya.

Dalam perkembangannya, tidak menutup kemungkinan suatu kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat akan mengalami perubahan ataupun reproduksi budaya. Dalam proses perubahan dan reproduksi budaya tidak terlepas dari adanya berbagai faktor yang mempengaruhinya.

Adanya perubahan dan reproduksi budaya dalam suatu masyarakat akan berpengaruh juga terhadap perubahan kehidupan sosial dan budaya masyarakat yang terkait. Pengertian Reproduksi Budaya

Reproduksi kebudayaan adalah proses penegasan identitas kebudayaan yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan kebudayaan asalnya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Reproduksi kebudayaan dilatarbelakangi oleh perubahan wilayah tempat tinggal, latar belakang sosial, latar belakang kebudayaan, yang pada akhirnya akan memberikan warna bagi identitas kelompok dan identitas kesukubangsaan (Abdullah, 2001; Anderson, 1991; Barth, 1998). Proses semacam ini merupakan proses sosial budaya yang penting karena menyangkut dua hal. Pertama, pada tataran masyarakat akan terlihat proses dominasi dan subordinasi budaya terjadi secara dinamis yang memungkinkan kita menjelaskan dinamika kebudayaan secara mendalam. Kedua, pada tataran individual akan dapat diamati proses resistensi di dalam reproduksi identitas budaya sekelompok orang di dalam konteks sosial budaya tertentu. Proses adaptasi ini berkaitan dengan dua aspek, yakni ekspresi kebudayaan dan pemberian makna akan tindakan-tindakan individual. Dengan kata lain, hal ini menyangkut dengan cara apa sekelompok orang dapat mempertahankan identitasnya sebagai suatu etnis di dalam lingkungan sosial budaya yang berbeda.

Salah satu tokoh sosiologi kontemporer, yakni Peirre Bourdieu juga mengemukakan kajian analitisnya tentang reproduksi kebudayaan. Melalui konsepnya tentang habitus dan arena serta hubungan dialektis antara keduanya, Bourdieu mengemukakan analitisnya tentang reproduksi kebudayaan.

Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang dengannya orang berhubungan dengan dunia sosial. Orang dibekali dengan serangkaian skema terinternalisasi yang mereka gunakan untuk memersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial. Secara dialetik, habitus adalah “ produk dari internalisasi struktur” dunia sosial. Sebenarnya kita dapat menganggap habitus sebagai “ akal sehat”. Mereka merefleksikan pembagian objektif dalam struktur kelas, seperti kelompok usia, jenis kelamin dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam kurun yang panjang. Jadi habitus bervariasi tergantung pada sifat posisi seseorang di dunia tersebut, tidak semua orang memiliki habitus yang sama. Namun, mereka menempati posisi sama di dunia sosial cenderung memiliki habitus yang sama ( agar adil bagi Bourdieu, di sini harus kita tambahkan bahwa ia mengemukakan pernyataan sedemikian rupa sehingga karyanya diarahkan oleh “ keinginan untuk memperkenalkan kembali praktik agen, kemampuan penemuan dan improvisasinya”. Habitus yang termanifestasikan pada individu tertentu diperoleh dalam proses sejarah individu dan merupakan fungsi dari titik tertentu dalam sejarah sosial tempat ia terjadi.

Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh dunia sosial. Di satu sisi, habitus “menstrukturkan struktur” artinya habitus adalah struktur yang menstrukturkan dunia sosial. Di sisi lain dia adalah struktur yang terstrukturkan artinya habitus adalah struktur yang distrukturkan oleh dunia sosial. Dengan istilah lain, Bourdieu menggambarkan habitus sebagai “ dialetika internalisasi eksternalitas dan eksternalisasi internalitas”. Meskipun habitus adalah satu struktur terinternalisasi yang menghambat pikiran dan pilihan bertindak, ia tidak menentukannya. Habitus sekedar “menyarankan” apa yang seharusnya dipikirkan orang dan apa yang seharusnya mereka pilih untuk dilakukan. Habitus memberikan prinsip yang digunakan orang untuk memilih strategi yang akan mereka gunakan di dunia sosial.

Arena adalah jaringan relasi antarposisi objektif di dalamnya. Keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran dan kehendak individu. Bourdieu melihat arena, menurut definisinya, sebagai arena pertempuran: “Arena juga merupakan arena pertempuran” (Bourdieu dan Wacquant, 1992: 101). Kalau habitus ada di dalam pikiran aktor, maka arena berada di luar pikiran mereka. Arena adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya berbagai jenis modal ( ekonomi, cultural, sosial, simbolik) digunakan dan dimanfaatkan. Namun, ada arena kekuasaan (politik) yang paling penting, hierarki hubungan kekuasaan dalam arena politik berfungsi menstrukturkan semua arena lain.

Lewat salah satu karyanya yang berjudul Distinction, Bourdieu menerangkan penerapan habitus dengan arena. Dalam karyanya tersebut, ia mencoba menunjukkan bahwa kebudayaan dapat menjadi objek sah dari study ilmiah, hal yang lebih spesifik lagi dari kebudayaan, dia menganalisis selera akan masakan yang dimasak khusus dan berselera tinggi dengan makanan yang hanya terbuat dari bahan-bahan pokok. Selera, menurut Bourdieu merupakan praktik yang di antaranya memberi individu, maupun orang lain, pemahaman akan statusnya di masyarakat. Selera menyatukan mereka yang berada pada posisi yang sama dan membedakannya dari mereka yang memiliki selera berbeda. Secara langsung maupun tidak, dengan selera maka orang akan mengklasifikasikan dirinya sendiri pada tataran kelas-kelas sosial tertentu. Selera adalah kesempatan baik untuk menyatakan posisi seseorang dalam arena dan membawa dampak bagi kemampuan seseorang yang berada kelas yang tinggi untuk lebih mampu membuat selera mereka diterima dan menentang selera mereka yang berada pada kelas yang lebih rendah.

Bourdieu menghubungkan selera dengan salah satu konsep utamanya yaitu habitus. Selera lebih banyak dibentuk oleh penempatan-penempatan yang membentuk kesatuan tak sadar suatu kelas dan mengakar kuat serta bertahan lama, habitus memberikan kita akan pemahaman makna akan bentuk dari hasil kebudayaan seperti perabot, pakaian, dan masakan. Bourdieu selanjutnya mengemukakannya dengan lebih menarik: “selera adalah pengatur pertandingan……yang didalamnya habitus menegaskan kedekatannya dengan habitus lain” (1984a: 243). Kendati arena dan habitus adalah dua hal penting bagi Bourdieu, namun yang paling penting adalah hubungan dialektis diantara keduanya; bahwa arena dan habitus saling memberi arti satu sama lain. Dalam bentuk yang lebih umum, Bourdieu menjelaskan: “terdapat hubungan erat antara posisi sosial dan disposisi agen yang mendudukinya” (1984a: 110). Dalam kehidupan masyarakat, suatu tindakan yang sama dapat memperoleh suatu makna dan nilai yang berbeda atau bahkan bertolak belakang jika dilakukan di arena yang berbeda, di konfigurasi yang berbeda, atau di sektor yang saling bertolak belakang di  arena yang sama.

Bourdieu melihat kebudayaan sebagai semacam ekonomi, atau pasar. Di dalam pasar ini orang lebih memanfaatkan modal budaya ketimbang ekonomi. Modal budaya ini sebagian besar diperoleh dari latar belakang daerah asal dan pendidikannya. Di pasar inilah orang yang memiliki modal menggunakannya sehingga mampu meningkatkan posisi atau malah mengalami kerugian, yang pada gilirannya menyebabkan merosotnya posisi dirinya di dalam ekonomi.

Bourdieu (1998a: 9) berusaha keras menjelaskan bahwa ia tidak sekedar berargumen. Namun, ia menjelaskan bahwa tujuan utamanya adalah: “bahwa hadir dalam ruang sosial, menduduki suatu posisi atau menjadi individu dalam suatu ruangan sosial, berarti membedakan, menjadi berbeda…..ditempatkan di suatu ruangan tertentu, seseorang…dibekali dengan kategori persepsi, dengan skema klasifikasi, dengan selera tertentu, yang memungkinkannya menciptaan perbedaan, membedakan, dan memilah-milah” (Bourdieu, 1998a: 9)

Pemahaman tentang proses reproduksi budaya yang menyangkut bagaimana “kebudayaan asal” direpresentasikan dalam lingkungan baru, namun hal ini masih sangat terbatas. Penelitian kesukubangsaan umumnya menitik beratkan kebudayaan sebagai “pedoman” dalam adaptasi dan kelangsungan hidup (Barth, 1988) sehingga lebih melihat aspek produktif dari sebuah kebudayaan. Sementara itu, aspek reproduktif yang menjadi kecenderungan baru di dalam menjelaskan perubahan-perubahan kontemporer (Appandurai, 1994; Hannerz, 1996; Olwig & Hastrup, 1997; Strathern, 1995), masih kurang diperhatikan. Dalam konteks Indonesia, diskusi yang mengarah pada proses pemaknaan kembali kultur daerah asal ini masih bersifat baru, khususnya dalam memberikan pemahaman baru tentang konteks sosial budaya yang berubah-ubah. Perubahan ruang sosial telah memyebabkan perubahan pada kebudayaan. Mobilitas yang terjadi telah mempengaruhi identitas kelompok melalui penggunaan simbol-simbol baru. Kecenderungan ini didorong juga oleh media massa yang kemudian menyebabkan kebudayaan bersifat rerpoduktif.

Proses Terjadinya Reproduksi Budaya

Reproduksi kebudayaan adalah proses penegasan identitas kebudayaan yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan kebudayaan asalnya. Sedangkan proses reproduksi budaya merupakan proses aktif yang menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.

Reproduksi kebudayaan dilatarbelakangi oleh perubahan wilayah tempat tinggal, latar belakang sosial, latar belakang kebudayaan, yang pada akhirnya akan memberikan warna bagi identitas kelompok dan identitas kesukubangsaan (Abdullah, 2001; Anderson, 1991; Barth, 1998). Perubahan tersebut sejalan dengan mobilitas yang dilakukan manusia yang kini kian mencolok sejak abad ke 20.

Mobilitas sosial membuat lingkungan sosial budaya setiap orang berubah-ubah sehingga setiap orang sering kali dihadapkan pada nilai-nilai baru yang mengharuskan setiap orang menyesuaikan diri secara terus menerus. Dengan demikian terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, terjadi adaptasi cultural para pendatang dengan kebudayaan tempat ia bermukim, yang menyangkut adapatasi nilai dan praktik kehidupan secara umum kebudayaan lokal menjadi kekuatan baru yang memperkenalkan nilai-nilai kepada pendatang, meskipun tak sepenuhnya memiliki daya paksa. Namun, proses reproduksi kebudayaan lokal, menjadi pusat orientasi nilai suatu masyarakat dan mempengaruhi mode ekspresi diri setiap orang. Kedua, proses pembentukan identitas individual yang dapat mengacu kepada nilai-nilai kkebudayaan asalnya. Bahkan mampu ikut memproduksi kebudayaan asalnya di tempat yang baru. Sehingga dalam hal ini kebudayaan disebut sebagai imagined values yang berfungsi dalam fikiran setiap orang sebagi pendukung dan yang mempertahankan kebudayaan itu meskipun seseorang berada diluar lingkungan kebudayaannya.

Kini di era globalisasi pengaruih media dalam mendistribusikan kebudayaan global yang secara langsung dapat mempengaruhi gaya hidup. Iklan sebagai salah satu media yang  turut bekontribusi dalam mendiostribusikan kebudayaan global telah mampu membentuk pasar baru dan mendidik pemuda untuk menjadi konsumen. Kehidupan sehari-hari yang menjadi basis pembentukan imagine telah didikte oleh pasar dan institusi terkait. Hal tersebut dapat terlihat jelas pada masyarakat kota, dimana ruang-ruang konsumsi telah terbentuk akibat dari ekspansi pasar yang di dukung oleh revolusi teknologi elektronik dan revolusi teknologi komunikasi.

Tentu saja hal tersebut menciptakan kelas-kelas tertentu dimana setiap kelas mempunyai habitus yang berbeda-beda dalam hal ini adalah selera. Dimana simbol-simbol baru pada tiap kelas mempengaruhi pembentukan identitas. Pada titik ini ketika setiap lingkungan sosial budaya tiap kelas berubah maka akan terjadi penyesuaian dan adaptasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketika konteks sosial berubah maka makna sosial dan individual suatu kebudayaan juga berubah. Karena konteks sosial memberikan makna pada tindakan-tindakan individual.

Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Reproduksi Budaya

Faktor Intern

Beberapa faktor intern atau faktor dari dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi terjadinya reproduksi budaya antara lain sebagai berikut

1. Bertambah dan Berkurangnya Penduduk. Setiap masyarakat, baik masyarakat kota ataupun masyarakat desa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda satu sama lain. Bertambah dan berkurangnya jumlah penduduk dalam suatu tempat terjadi tidak hanya karena adanya kelahiran dan kematian. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya perpindahan penduduk dari satu tempat ketempat yang lainnya. Dalam kaitannya dengan bertambah dan berkurangnya jumlah penduduk, masyarakat desa melakukan urbanisasi ke kota yang mana oleh masyarakat desa, kota dianggap sebagai tempat yang memiliki kebudayaan yang lebih beragam. Selain daripada itu, salah satu faktor yang mendorong terjadinya urabanisasi ialah karena kota memiliki daya tarik tersendiri diberbagai bidang, antara lain kota dianggap sebagai tempat yang banyak menyediakan lapangan pekerjaan, ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang lebih lengkap, perkembangan teknologi yang terjadi di kota lebih cepat, serta adanya anggapan bahwa kota merupakan tempat yang cocok digunakan untuk pengembangan jiwa yang seluas-luasnya.

Dalam hal ini, proses reproduksi kebudayaan terjadi ketika masyarakat desa yang melakukan urbanisasi ke kota kembali ke desa lagi dengan membawa kebudayaan masyarakat kota yang diperolehnya melalui proses adaptasi dengan kebudayaan kota. Kebudayaan yang dibawanya tadi akan menimbulkan suatu keanehan bagi masyarakat desa, namun dapat juga menimbulkan suatu kekaguman bagi masyarakat desa serta kecenderungan untuk membentuk budaya yang baru dalam suatu masyarakat desa yang cenderung bersifat homogen.

Perpindahan pendiuduk dari satu daerah kedaerah yang lain dapat mengakibatkan terjadinya suatu reproduksi budaya. Dengan adanya perbedaan kebudayaan dari daerah asal dan daerah tujuan, dapat mengakibatkan 2 pilihan, yakni : Pertama, kebudayaan lokal dapat tetap dipertahan oleh setiap individu. Dalam konteks ini seseorang dapat juga ikut memproduksi kebudayaan asalnya di tempat yang baru. Kedua, kebudayaan lokal mengalami tranformasi yang disebabkan karena proses adaptasi dengan kebudayaan lain. Dalam hal ini keberagaman kebudayaan akan terlihat sebagai suatu kekayaan dan bukan sebagai suatu ancaman bagi kebudayaan lain. Sebagai contoh : dilingkungan transmigrasi, adanya adaptasi dari masyarakat pendatang menjadi penambah keberagaman nilai-nilai baru bagi masyarakat lokal.

2. Penemuan-penemuan Baru

Suatu proses sosial dan kebudayaan yang besar, tetapi yang terjadi dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama disebut dengan inovasi atau innovation.proses tersebut meliputi suatu penemuan baru, jalannya unsur kebudayaan baru yang tersebar keberbagai bagian masyarakat, dan cara-cara unsur kebudayaan tadi diterima, dipelajari dan akhirnya dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan.

Penemuan-penemuan baru sebagai sebab terjadinya perubahan-perubahan kebudayaan dapat dibedakan dalam pengertian-pengertian dicovery dan invention. Discovery merupakan penemuan unsur kebudayaan baru, baik berupa alat ataupun berupa gagasan yang diciptakan oleh seorang individu atau serangkaian ciptaan individu. Discovery baru akan menjadi invention jika masyarakat sudah mengakui, menerima, serta menerapkan penemuan baru itu.

Beberapa faktor pendorong munculnya penemuan-penemuan baru antara lain adalah :

  • Kesadaran individu-individu akan kekurangan dalam kebudayaannya.
  • Kualitas ahli-ahli dalam suatu kebudayaan.
  • Pernagsang bagi aktivitas-aktivitas penciptaan dalam masyarakat.

Dalam setiap masyarakat tentu ada individu yang sadar akan adanya kekurangan dalam kebudayaan masyarakatnya. Di antara orang-orang tersebut banyak yang menerima kekurangan-kekurangan tersebut sebagai sesuatu hal yang harus diterima saja. Orang lain mungkin tidak puas dengan keadaan, tetapi tidak mampu memperbaiki keadaan tersebut. Mereka inilah yang kemudian menjadi pencipta-pencipta beru tersebut.

Keinginan akan kualitas juga merupakan pendorong bagi terciptanya penemuan-penemuan baru. Keinginan untuk mempertinggi kualitas suatu karya merupakan pendorong untuk meneliti kemungkinan-kemungkinan ciptaan baru. Seringkali bagi mereka yang telah menemukan hal-hal yang baru diberikan hadiah atau tanda jasa atas jerih payahnya. Ini juga merupakan pendorong bagi mereka untuk lebih bergiat lagi. Penemuan baru dalam kebudayaan rohaniyah dapat pula menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan.

3. Konflik

Pertantangan (konflik) dalm masyarakat memungkinkan menjadi salah satu penyebab terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat. Pertentangan-pertantangan dapat terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok.

Lewis Coser dalam teorinya menunjukkan kekeliruan jika memandang konflik sebagai suatu hal yang selalu merusak sistem sosial, karena konflik juga dapat memberikan keuntungan pada masyarakat luas di mana konflik tersebut terjadi. Konflik justru dapat membuka peluang integrasi antar kelompok.

Adanya konflik dapat mengakibatkan adanya reproduksi budaya, hal ini dapat dicontohkan dengan gerakan-gerakan masyarakat yang menentang suatu kebijakan sehingga dapat membuat suatu budaya yang baru. Sebagai contoh yaitu pergolakan masyarakat yang terjadi pada saat masa pemerintahan Soeharto (orde baru) yang menuntut adanya kebebasan bagi masyarakat itu sendiri. Dari adanya pergolakan tersebut secara tidak langsung akan memunculkan suatu budaya baru dalam masyarakat, yakni adanya budaya kebebasan dalam berbagai bidang, seperti kebebasan dalam mengemukakan pendapat dan kebebasan pers.

Dari contoh tersebut diatas, terbukti bahwa teori yang dikemukakan oleh Lewis Coser tampak relefan. Konflik atau pertentangan yang terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto (orde baru) tidak hanya menimbulkan dampak negatif saja, namun juga menimbulkan adanya damapk positif yakni membuka peluang integrasi dalam masyarakat.

Faktor Ekstern

Faktor ekstern yang mendorong terjadinya reproduksi budaya antara lain sebagai berikut :

1. Media Massa

Media massa merupakan salah satu agen sosialisasi masyarakat dan merupakan saluran yang berpengaruh dalam distribusi kebudayaan global yang secara langsung mempengaruhi gaya hidup. Sifat-sifat lokal mulai mengabur dan digantikan dengan warnaa-warni pemandangan pusat-pusat perbelanjaan yang serba canggih dan modern dan juga skema penyeragaman masyarakat dunia lewat produk-produk kapitalis bertaraf trans nasional seperti Pepsi, Coca-Cola, KFC, Pizza Hut, Mc Donald serta gemerlap serta hingar-bingarnya pub, cafe, diskotik, dan restoran. Cepatnya arus mobilitas masyarakat yang terjadi telah mempengaruhi identitas kelompok melalui pergeseran pemahaman nilai serta penggunaan simbol-simbol baru. Kecenderungan ini dipengaruhi oleh media massa yang tumbuh kemudian menyebabkan kebudayaan bersifat reproduktif.

Kehidupan sehari-hari yang menjadi basis di dalam pembentukan kesan/image telah didekte oleh pasar dan instutusi terkait (seperti iklan). Iklan cenderung membentuk pasar atau trend baru sehingga mendidik masyarakat untuk menjadi konsumen, hal ini akan lebih terlihat pada pesona iklan yang sangat mempengaruhi anak muda, khususnya wanita (lewat budaya telenovelaisme dan sinetronisme).

2. Globalisasi

Globalisasi merupakan masuknya budaya asing ke suatu negara sehingga menyebabkan batas suatu negara menjadi kabur. Segala macam hal yang berada diluar negara bisa dengan sekejap mata disatukan dengan globalisasi. Globalisasi bagaikan 2 sisi mata uang, di sisi lain menyebabkan sifat-sifat lokal mengabur di sisi lain negara lain dapat mengikuti perkembangan zaman sehingga tidak ketinggalan.

Integrasi ekonomi ke tatanan ekonomi global telah terbukti juga merupakan integrasi sosial budaya ke dalam suatu tatanan dunia, yang kehadirannya dapat dilihat di kalangan penduduk kota. Revolusi teknologi elektronik dan teknologi komunikasi/ transportasi telah menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai tempat dengan berbagai belahan dunia lain. Ha yang mencolok terjadi dalam kecenderungan ini adalah tumbuhnya budaya konsumen/ konsumerisme (consumer culture) di kota-kota (Featherstone, 1991) yang merupaka bagian dari ekspansi pasar (Evers, 1991). Dalam proses ini konsumsi merupakan faktor penting di dalam mengubah tatanan nilai dan subjektivitas mengalami transformasi, baik menyangkut masalah integrasi maupun nasionalisme (Featherstone, 1990).

Basis material yang tampak dalam proses konsumsi penduduk kota menunjukkan suatu usaha aktif penduduk dalam membangun identitas baru mereka. Berbagai penelitian mengenai perkembangan dan pertumbuhan kota menunjukkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di kota disebabkan oleh ledakan pertambahan penduduk. Pemusatan kegiatan ekonomi d kota-kota besar telah menyebabkan konfigurasi penduduk yang semakin terpusat di wilayah perkotaan.

Menurut Koswara, paling sedikit terdapat empat persoalan pokok yang muncul diperkotaan:

  1. Fasilitas-fasilitas lingkungan dan infrastruktur yang kurang memadai;
  2.  Kondisi perumahan yang kurang sehat;
  3. Tingginya tingkat kepadatan penduduk dan pola penggunaan tanah yang tidak teratur; dan
  4. Tatanan kehidupan sosial yang kurang teratur.

Konteks ruang tersebut telah mengubah kota menjadi suatu ruang konsumsi yang membentuk suatu gaya hidup kota. Ada dua proses yang menandai transformasi sosial perkotaan semacam ini, yaitu proses konsumsi simbolis dan transformasi sosial.

Proses konsumsi simbolis merupaka tanda penting dari pembentukan gaya hidup dimana nilai-nilai simbolis dari suatu produk dan praktik telah mendapat penekanan yang besar dibandingkan dengan nilai kegunaan dan fungsional. Hal ini paling tidak dapat dijelaskan dengan tiga cara. Pertama, masing-masing kelas sosial telah membedakan proses konsumsi dimana setiap kelas menunjukkan proses identifikasi yang bebeda. Nilai simbolis dalam konsumsi tampak diinterpretasikan secara berbeda oleh kelompok yang berbeda. Pasar dalam masyarakat seperti ini lebih berfungsi sebagai pembatas dan penegas batas-batas kelompok. Kedua, barang/produk yang dipakai kemudian menjadi wakil dari kehadiran.

Hal ini berhubungan dengan aspek-aspek psikologis di mana konsumsi suatu produk berkaitan dengan perasaan atau rasa percaya diri yang menunjukkan bahwa itu bukan hanya sekedar pelengkap/assesoris, tetapi produk tersebut merupakan isi dari kehadiran seseorang karena dengan cara itu ia berkomunikasi (Goffman, 1951). Hal ini menunjukkan bahwa proses konsumsi itu juga bersifat fungsional karena melayani atau disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kelompok. Ketiga, berdasarkan proses konsumsi tersebut dapat dilihat bahwa citra/image di satu pihak telah turut juga menjadi bagian dari proses konsumsi yang penting dimana citra yang dipancarkan oleh suatu produk dan praktik (seperti makanan atau pakaian) merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok. Bagi kelas menengah, citra yang melekat pada suatu produk secara keseluruhan merupakan instrumen modernitas yang mampu menegaskan keberadaan dan identitasnya. Rumah, misalnya, dikonsumsi karena gaya arsitekturnya yang khas dan berkelas, dengan sifat yang modern atau karena keunikannya yang menegaskan keberadaan pemiliknya dengan orang lain.

Perubahan konteks sosial semacam ini di Indonesia tidak terlepas dari sejumlah kebijakan yang berkaitan dengan deregulasi ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah sejak 1980-an. Telah dijelaskan bahwa Indonesia tidak dapat mengisolasikan dirinya dengan kecenderungan arus global yang semakin kuat. Dalam proses ini, integrasi Indonesia kedalam pasar internasional tidak dapat ditolak. Indonesia dianggap sebagai salah satu pasar yang potensial bagi produk global. Perbaikan telekomunikasi dan transportasi, sebagai salah satu faktor terpenting, telah memungkinkan mengalirnya barang-barang global yang dengan mudah diperoleh di berbagai tempat yang pada giirannya mengubah mode konsumsi berbagai suku bangsa. Namun demikian, globalisasi juga harus dilihat sebagai tekanan terhadap kehidupan sosial secara umum karena hal itu merupakan faktor mendasar dalam transformasi masyarakat.

Dari sini kita dapat menjelaskan bahwa globalisasi bukan merupakan proses satu arah karena adannya kecenderungan untuk terjadi dialog dengan sifat-sifat lokal yang menentukan penerimaan atau penolakan unsur-unsur dan barang baru dalam berbagai bentuk. Penduduk kota mulai membutuhkan produk global sebagai instrumen untuk mengartikulasikan kelas dan identitas kelompok untuk membedakan dirinya dengan orang lain. Hal ini terutama sejalan dengan tumbuhnya kelas menengah yang begitu pesat sejak tahun 1980-an di Indonesia (Kuntowijoyo, 1991), yang merupakan kelompok yang paling berpengaruh dalam reproduksi gaya hidup. Label “produk luar negeri” merupakan semacam fasilitas bagi ekspresi diri kelas menengah kota.

Lewis Mumford dalam bukunya yang terkenal berjudul “the cultute of cities” (1938) menyimpulkan adanya enam tahap dalam sejarah perkembangan kota mulai dari muncul sampai runtuhnya. Meskipun ini berdasarkan pengalaman masa lampau tetapi tiap-tiap tahap mengandung sifat-sifat masa lampau yang khas dan masih dapat ditemukan pada jaman sekarang. Dan jika dilihat dari ciri kebudayaannya masyarakatnya, maka urut-urtan tahapan kota yang dikemukakan Lewis Mumford juga mengindikasikan adanya proses reproduksi kebudayaan. Urut-urutan tahap itu antara lain:

1)      Eopolis

Kota ini menempati suatu pusat dari daerah pertanian dengan adat-istiadat dengan corak kedesaan dan serba sederhana. Atau merupakan suatu pusat dari daerah-daerah pertanian dan mempunyai adat istiadat yang bercorak kedesaan dan sederhana.  Struktur dan proses sosial yang ada masih seperti desa kebanyakan namun dengan sedikit perubahan karena masuknya teknologi. Interaksi yang terjadi juga masih erat karena adanya kontak dan komunikasi sosial yang masih tinggi karena masih adanya hubungan kekeluargaan dan gotong royong yang juga sudah dimasuki dengan perkembangan teknologi misalnya handphone dan lain-lain. Tahapan perkembangan desa yang sudah teratur menuju arah kehidupan kota. Arus modernisasi dalam tahap ini mulai masuk ke desa yang tengah berkembang menuju kehidupan perkotaan. Dan mulai terjadi keteraturan dalam desa tersebut dengan adanya beberapa pembagian kerja dan modernisasi dalam kehidupan sehari-hari. Ditunjukkan dengan adanya penggunaan teknologi-teknologi modern dalam kehidupan sehari-harinya meskipun masih dalam bidang agraris. Di sini desa (rural) yang tadinya memiliki karakteristik yang sederhana. Kini mulai menampakkan keteraturannya dengan adanya beberapa organisasi dan pembagian kerja modern meskipun masih dalam bidang agraris.

Mobilitas yang sudah terbuka dan setiap individu mempunyai hak untuk melakukan mobilitas baik vertikal maupun horisontal. Nilai dan norma yang dianut masih dijaga dan dilestarikan. Dalam pembagian kerjanya juga telah ada spesifikasi misalnya ada yang membajak, menanam benih, memanen dan lain-lain.

2)      Polis

Merupakan tempat berpusatnya kehidupan keagamaan dan pemerintahan. Suatu kota yang sebagian penduduknya masih agraris. Pada tahapan ini desa telah nampak menjadi kota. Dengan adanya pola kehidupan seperti masyarakat kota. Dengan pekerjaan mereka yang telah bervariasi dan tidak terbatas pada bidang agraris semata dan telah menjadi pusat keagamaan dan pemerintahan.. Namun begitu, masih ada juga sebagian dari penduduk kota tersebut yang masih bekerja di bidang agararis. Dalam interaksi antar tetangga sudah mulai berkurang karena pekerjaan mereka yang menjadikan mereka teralienasi dari lingkungan sekitarnya. Struktur penduduknya sudah mulai berpikir secara rasional meskipun dalam beberapa hal masih percaya dengan mitos ataupun legenda. Pekerjaan yang bervariasi ini ditimbulkan oleh adanya perkembangan wilayah yang tadinya hanyalah desa kemudian dengan adanya pusat-pusat dari pemerintahan ataupun pusat-pusat dari industri sehingga membuka lapangan pekerjaan baru di daerah tersebut. Nilai dan norma yang dianut juga masih dijaga walaupun sudah agak memudar dan agak hilang. Mobilitas sosial bersifat terbuka.

3)      Metropolis

Dicirikan oleh wilayahnya yang kurang luas dan penduduknya yang banyak terdiri atas orang-orang dari berbagai bangsa. Percampuran perkawinan antar bangsa dan ras. Perkembangan menjadi metropolis menunjukkan kemegahan, tetapi dari segi sosial memperlihatkan adanya kontras antara golongan kaya dan golongan miskin. struktur sosialnya berdasarkan struktur industri yang memiliki spesialisasi pada satu bidang saja dalam suatu proses panjang dari sebuah industri. Dan seseorang hanya memiliki kemampuan dalam bidang itu saja. Kehidupannya sudah kompleks dengan adanya berbagai macam latar belakang dari penduduknya yang sudah bervariasi. Dalam tahapan ini suatu kota sudah banyak didatangi oleh orang-orang yang berasal dari daerah (desa) yang ingin mengadu nasibnya di kota (kaum urban). Mobilitas sosial juga bersifat terbuka sedangkan interaksi sosial yang terjadi berkurang karena antar individu mulai tidak peduli dengan individu lain. Nilai dan norma sosial mulai diabaikan.

4)      Megalopolis

Tahapan ini merupakan bentuk peningkatan dari sebelumnya. Gejala sosiopatologis (disatu pihak ada kekayaan dan keuasaaan dengan birokrasi yang amat menonjol, sedang pada pihak lain meluas kemiskinan dan berontaklah kaum proletar) Atau Pada tahap ini gejala sosio-patologis sangat menonjol, di satu pihak terdapat kekayaan dan kekuasaan yang didukung oleh birokrasi yang ketat, tapi di pihak lain terdapat kemiskinan mendorong terjadinya pemberontakan proletar. Dalam tahap perkembangan kota ini struktur masyarakat sangat kontras antara kaum borjuis dan proletar dan mengakibatkan pemberontakan oleh kaum proletar. Interaksi sosial yang terjadi sangat kurang bahkan oleh tetangga sendiri karena kesibukan kerja. Mobilitas sosial sangat terbuka sehingga setiap orang tergantung dirinya sendiri. Nilai dan norma yang ada sudah mulai diabaikan.

5)      Tyranopolis

Ditandai oleh adanya degenerasi, merosotnya moral di masyarakat, timbulnya kekuatan politik baru dari kaum proletar. Dapat ditandai juga dengan adanya kemacean lalu lintas dan angka kriminalitas yang tinggi. Dalam tahapan ini suatu kota dalam perkembangannya sudah terjadi kemunduran baik dari segi lingkungannya maupun dari segi kehidupannya. Dengan tuntutan hidup yang semakin tinggi menjadikan penduduknya menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bahkan dengan melakukan kejahatan. Sehingga keamanan daerahnya menurun tajam dan kejahatan terjadi di mana-mana. Struktur sosialnya juga sangat kacau apalagi interaksi maupun mobilitas juga kacau sedangkan nilai dan norma dianggap tidak berguna lagi untuk mengatur hidup

6)      Necropolis

Kota yang sedang mengalami kehancuran. Peradabannya menjadi runtuh dan kota menjadi puing-puing reruntuhan. Dalam tahap ini kota mulai ditinggalkan penduduknya sehingga struktur sosial masyarakat kota sudah kacau balau. Interaksi dan mobilitas yang terjadi sudah hancur, nilai dan norma hanya sampah belaka dan semua nya tinggal menjadi kenangan.

Referensi

Ritzer, George. 2008. Teori Sosiologi. Yogyakarta. Kreasi Wacana
https://sosiologibudaya.wordpress.com/2011/03/20/reproduksi-budaya/ di akses pada Selasa, 06 Maret 2012
 
Disusun oleh: Aisyah Nur Fitriani, Dewi Khumairoh, Yuli Suarningsih                  dan Deri Andrian  
 
download artikel lengkap di Reproduksi Budaya

Leave a comment